Ketik disini apa yang anda cari

Senin, 02 Mei 2011

NATO Gagal Bunuh Kadhafi Dirudal, Anak Sulung dan Tiga Cucunya Tewas



HANCUR: Rumah putra bungsu Kadhafi, Saif al-Arab Kadhafi berantakan akibat dirudal pasukan NATO. Kadhafi dan istrinya selamat.(ap photo/darko/bandic)

BENGHAZI - Tewasnya sang putra bungsu Saif al-Arab Kadhafi, dan tiga cucunya akibat serangan udara NATO dini hari kemarin WIB mungkin memang menjadi pukulan berat bagi pimpinan Libya Muammar Kadhafi. Tapi, NATO juga tak bisa menyebut “pembunuhan” itu sebagai keberhasilan. Sebab, yang didapatkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu setelah serangan maut ke rumah Saif di Tripoli tersebut adalah sederet kecaman.

Kecaman pertama tentu saja dari pemerintah Libya yang tegas menyebut NATO sengaja mengincar nyawa Muammar Kadhafi. Dan, itu berarti jelas melanggar Resolusi PBB No 1973 yang menegaskan keterlibatan pasukan koalisi internasional —yang kemudian tugasnya diambil alih NATO— di Libya semata untuk melindungi warga sipil.

“Bagaimana (serangan) ini disebut sebagai perlindungan kepada warga sipil? Tuan Saif al-Arab adalah warga sipil, seorang mahasiswa. Dia sedang bermain-main dengan keponakan-keponakannya dan berbincang dengan ayah-ibunya serta tamu lainnya saat diserang dan terbunuh,” kata Moussa Ibrahim, juru bicara pemerintah Libya, seperti dikutip BBC.

Menurut Ibrahim, apa yang dilakukan NATO dengan serangan yang disengaja untuk membunuh Kadhafi itu jelas-jelas melanggar hukum internasional. “Juga jelas melanggar aturan moral dan prinsip manapun,” tegasnya di jumpa pers di Tripoli.

Saif al-Arab (29), adalah putra bungsu Kadhafi dari total tujuh putra dan satu putri yang dimilikinya. Sedangkan ketiga cucu Kadhafi yang tewas sengaja tak dipublikasikan identitasnya. Hanya disebutkan ketiganya berumur di bawah 12 tahun.

Mereka tewas setelah kediaman Saif di sebuah kawasan perumahan di Tripoli dihajar tiga rudal NATO. Menurut para jurnalis internasional yang difasilitasi ke tempat tersebut oleh pemerintahan Kadhafi, ada satu rudal yang tidak sampai meledak.

Kondisi rumah tersebut hancur. Atapnya jebol. Tiang penyangga atap pun bergelantungan di berbagai sudut. Sedangkan sebagian besar tembok betonnya juga runtuh.

Seorang pejabat NATO yang identitasnya dirahasiakan menyampaikan kepada New York Times, si pilot yang menembakkan tiga rudal hanya tahu kalau di rumah itu ada Kadhafi. Dia tak tahu ada pula anak, istri, dan cucu-cucunya.

Menurut Ibrahim, Kadhafi dan istri yang ada di rumah tersebut saat penyerangan berada dalam kondisi baik, tak mengalami luka-luka. Melalui Ibrahim pula, Kadhafi—yang sehari sebelum serangan menawarkan gencatan senjata— menegaskan tak akan pernah mundur.

Sementara itu, Komandan Juru Bicara Operasi NATO Letnan Jenderal Charles Bouchard menepis tudingan kalau yang sengaja disasar adalah Kadhafi. NATO berkeyakinan kalau yang diklaim sebagai kediaman Saif itu adalah pusat komando dan kontrol.

“Semua target NATO adalah sarana militer. Kami tak menarget individual,” katanya, seperti dikutip New York Times.

Mengenai laporan meninggalnya anak dan cucu Kadhafi, Bouchard mengakui pihaknya sudah mengetahui. “Kami turut prihatin terhadap jatuhnya korban jiwa, khususnya warga sipil yang menjadi korban konflik yang terus berlangsung ini,” katanya.

Kehilangan anak akibat serangan udara musuh bukan kali ini saja dialami Kadhafi. Pada 1986, anak gadis yang diadopsi sang kolonel juga tewas akibat serbuan udara Amerika Serikat. Serangan itu merupakan balasan atas serangan teroris yang diduga diotaki Libya di sebuah diskotik di Berlin, Jerman, yang menewaskan tiga tentara Amerika.

Kabar kematian anak Kadhafi itu disambut meriah di basis pemberontak di Benghazi dan Misrata. Mereka merayakan dengan menembakkan senapan ke udara. Tapi, tetap saja ada sedikit keraguan: jangan-jangan ini cuma taktik Kadhafi untuk menarik simpati.

Satu hal yang pasti, kematian Saif al-Arab itu belum akan menghentikan krisis di Libya. Yang mungkin akan jadi faktor penentu adalah minyak dan uang.

Seperti dilaporkanIndependent, saat ini Tripoli dan wilayah barat Libya yang masih dikontrol Kadhafi mengalami krisis suplai minyak. Antrian mendapatkan bahan bakar bisa mencapai dua kilometer dan harus dijaga ketat.

Sedangkan kalangan pemberontak mengalami defisit keuangan. Dari keseluruhan total dana yang dibutuhkan, mereka mengaku saat ini hanya mengantongi 40 persen di antaranya.(ttg/jpnn/ji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

by Tania ja Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger